Aksi Gerilya Melayu
Kantor Walikota Dumai
Pelantikan HMI Cabang Dumai
 
Periode 2011-2012
Selamat Datang Diblog Ini
Ucapan Selamat Lebaran
 
Bagaimana menurut anda blog ini ?
Pengurus Hmi Cabang Dumai
Periode 2009-2010
Pelantikan Hmi Cabang Dumai
Para Undangan Acara Pelantikan
Para Undangan dan Peserta
kunjungan Bg Akbar ke Dumai
Audiensi di Malaka Fm
Rabu, 02 Desember 2009
Senin, 26 Oktober 2009
MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN, SEBENARNYA APA PERBEDAAN MENDASAR KEDUA ISTILAH ITU?
Dua kata itu, manajemen dan kepemimpinan sangat sering kita dengar. Kadang kata itu sering kita persamakan artinya. Ketika kita melihat perusahaan yang sangat berkembang kita sering mengatakan, “manajemen di sana baik.” Kadang kita berkata, “Saya yakin kepemimpinan di sana pasti baik.”
Namun kata manajemen begitu melanda dalam kehidupan sehari-hari. Ketika anda ingin mengkritik sebuah universitas yang prestasinya buruk, anda mengatakan "manajemen universitas itu tidak cakap." Ketika anda bicara pengelolaan pajak yang amburadul, anda mengatakan, "manajemen pajak di negeri kita payah."
Saat ini kita memang hidup penuh dengan berondongan istilah yang macam-macam, yang semuanya terkait dengan manajemen.. Benchmarking, balance score card, intrapreneuring, empowerment, business process reengineering, dan istilah-istilah aneh-aneh (tapi pasti Inggris) begitu melanda organisasi kita.
Celakanya, kita sering begitu “gagah” menggunakan kata-kata asing itu. Daripada bilang pemberdayaan, kita lebih mantap bicara empowerment. Daripada bicara hubungan pelanggan yang akrab, kita katakan customer intimacy, atau malah sekadar customer relationship.
Namun ada fenomena menarik, walau kita sering mengucapkan berbagai istilah manajemen, kita malah sering tidak tahu arti persis dari kata-kata itu. Seringkali pula istilah manajemen itu kita dengar dari orang lain, karena terasa gagah, kata itu kemudian menjadi “kosa kata” kita sehari-hari tanpa kita pernah tahu dari literatur mana sumber istilah manajemen itu.
Ketika kita makin berakrab-akrab dengan berbagai istilah itu, agar “membumi” kita ganti istilah itu menjadi bahasa Indonesia. Management kita terjemahkan menjadi manajemen, dan leadership menjadi kepemimpinan.
Sebenarnya apa perbedaan “hakiki” antara manajemen dan kepemimpinan? Silakan baca terus...
Berbagai pakar mempunyai pendapat yang bermacam-macam tentang manajemen dan kepemimpinan itu.. Satu penjelasan yang mudah dipahami adalah dari Stephen Covey.
Andaikata kita ini sedang akan membuka hutan untuk eksplorasi hasil hutan, maka seorang pemimpin akan mengatakan, “Baik, dari berbagai informasi dan pertimbangan, saya putuskan hutan di lereng bukit itu yang harus kita tebang dulu.” Sebagai pemimpin ia menjelaskan bagian mana yang harus dieksplorasi.
Begitu pemimpin itu menjelaskan bagian hutan mana yang harus dibuka, maka saatnya peran manajemen berlaku. Para manajer akan memikirkan cara-cara, alat-alat, metoda yang paling efektif untuk membuka hutan itu. Mungkin mereka akan memakai gergaji listrik, mungkin memakai gergaji panjang karena medannya sulit, atau bahkan mereka akan melingkar untuk mencari celah agar mudah membuka bagian hutan itu.
Bisakah sekarang anda membedakan fungsi manajemen dan kepemimpinan? Kepemimpinan adalah yang menentukan arah, sedangkan manajemen berusaha untuk mewujudkan agar arah tadi bisa tercapai. Manajemen lebih peduli kepada pemilihan metoda, cara-cara agar tujuan itu bisa tercapai secara efektif. Itu tadi adalah konsep manajemen dan kepemimpinan dari Covey.
Warren Bennis, pakar kepemimpinan dan manajemen terkenal, dengan cerdas mengatakan, “Pemimpin menaklukkan situasi. Mungkin situasi itu kacau, membingungkan, mengherankan dan bahkan menantang kita dan bisa membungkam kita jika kita biarkan situasi itu makin memburuk. Manajer, atau manajemen? Manajer menyerah atas keadaan itu. Manajemen berarti mengelola, sedangkan kepemimpinan, menginovasi. Manajer adalah tiruan, sedangkan pemimpin adalah asli. Manajemen menjaga hal-hal, pemimpin mengembangkan hal-hal. Manajemen berfokus pada sistem dan struktur sedangkan kepemimpinan berfokus pada orang-orang”
Pendapat saya sendiri? Kunci dari kepemimpinan adalah pengaruh. Ia berbuat, bertindak, bekerja untuk mempengaruhi orang agar mau bergerak menuju arah yang sudah dicanangkan. Anehnya, kepemimpinan dikatakan sukses jika orang-orang itu kemudian bergerak, maju dan menganggap tujuan tadi milik mereka yang harus mereka perjuangkan dan capai.
Mengapa kita selalu mengatakan bahwa Panglima Besar Jendral Soedirman bahwa beliau berjasa memimpin perang gerilya. Secara fisik, beliau sangat tidak meyakinkan. Bagaimana bisa meyakinkan? Beliau batuk-batuk, sakit paru-paru yang parah dan harus ditandu. Badannya tidak gagah, dulunya beliau adalah seorang guru. Dapatkah anda membayangkan seorang pahlawan perang ternyata orang yang penyakitan. Lariskah film perang seperti Rambo jika tokoh Rambo itu ternyata untuk berjalan saja tidak bisa?
Lalu, mengapa ia bisa menggerakkan tentara, dan rakyat untuk berjuang? Pengaruh. Bagaimana kita tidak tergerak, terpacu untuk berperang, sedangkan orang yang sakit-sakitan itu tidak pernah lelah terus bersemangat berperang, bahkan sakitnya itu seolah tidak mampu mencegah gelora semangat juangnya yang tidak pernah kendor?
Mengapa kita tidak mengatakan manajemen Soedirman efektif? Jelas tidak. Di samping, mungkin saat itu belum dikenal istilah manajemen, para pejuang merasa bahwa mereka dipimpin oleh Jendral besar itu. Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang-orang berada di dalam situasi yang kacau, tidak aman, tidak menentu, mereka sangat membutuhkan pemimpin, dan bukannya manajemen. Saya membahas hal itu secara panjang lebar dalam Transformational Leadership: Terobosan Baru Menjadi Pemimpin Unggul
Jadi ketika anda menjabat sebagai pemimpin, jangan pernah lupa tugas anda untuk mempengaruhi bawahan anda. Ajak mereka untuk “memeluk” tujuan yang anda canangkan seolah milik mereka sendiri. Gambarkan secara nyata “kenikmatan” atau “hilangnya derita” jika tujuan itu tercapai.
Apa pun yang kita kerjakan, termasuk di bidang manajemen, ternyata tidak pernah lepas dari dua faktor tadi, yaitu mengejar kenikmatan, kesenangan, dan menghindari susah, atau kepedihan. Ketika anda bisa menggambarkan masa depan yang bisa menimbulkan kenikmatan, dan ternyata kenikmatan itu begitu “menggoda”, karyawan akan cenderung berjuang menuju tujuan itu.
Contoh, perusahaan tempat anda bekerja dua tahun lagi ingin “go public.” Untuk bisa go public perusahaan harus laba tiga tahun terus menerus. Agar laba yang sekarang bisa diikuti oleh laba dua tahun di masa depan, sebagai pemimpin anda menjanjikan untuk “membagikan” sebagian saham kepada kelompok manajemen dan karyawan yang berprestasi.
Tentu anda bisa membuat kriteria bagaimana definisi “berprestasi” itu. Anda kemudian menggambarkan betapa besar uang yang akan mereka terima jika saham itu “laris manis” di pasar modal. Jika manajemen dan karyawan yakin bahwa cita-cita itu memang bisa dilaksanakan, mereka akan berjuang untuk mencetak laba yang makin baik di masa depan.
Sebaliknya, untuk mendorong kelompok manajemen dan karyawan agar jangan “leha-leha,” anda bisa mengajak mereka membayangkan betapa sengsaranya hidup mereka jika perusahaan itu rugi terus. Pasti akhirnya akan dinyatakan bangkrut. Jika bangkrut, maka akan PHK besar-besaran, dan kenyataan membuktikan, mencari kerja sangatlah sukar. Pesan anda jelas, jika manajemen dan karyawan tidak memperbaiki kinerja dengan kerja keras dan cerdas, masa depan akan menjadi sangat gelap.
Perhatikan lagi kuncinya, ketika anda menceritakan masa depan, sebaiknya diceritakan secara hidup, syukur dramatis. Riset membuktikan bahwa dengan bercerita akan bisa membawa karyawan melihat gambaran yang begitu hidup, begitu nyata, dan akhirnya bisa menggerakkan karyawan menuju ke arah masa depan.
William Stewart, (Carter-Scott, 1994) seorang alumnus the Naval Academy yang merupakan veteran perang Vietnam ikut berpendapat tentang manajemen dengan mengatakan, “Ada perbedaan keahlian yang dituntut di dunia militer. Ketika keadaan damai, misalnya, anda akan sukses jika anda tahu bagaimana menerapkan manajemen. Namun ketika perang, anda hanya akan sukses jika anda mampu memimpin. Keahlian manajemen anda yang efektif, tidak terlalu bisa anda terapkan dalam perang. Yang diperlukan adalah kemampuan memimpin.” Sekarang ini Steward sudah menjadi pengacara yang sukses di Amerika Serikat.
Ketika anda belajar manajemen, anda selalu teringat oleh Henry Fayol. Ia, di tahun 1916 memperkenalkan konsep manajemen yang berupa merencanakan, mengorganisasikan, memerintahkan, dan mengawasi. Ketika ada orang bertanya kepadanya, apa tugas dari seorang dirut? POSDCORB jawabnya. Itu adalah kepanjangan dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting dan budgeting. Ia mengemukakan istilah itu di tahun 1930. Akronim manajemen itu ringkas dan mudah diingat.
Namun kenyataannya, itulah yang sering dikerjakan oleh para pemimpin, bahkan pemimpin puncak. Mereka lebih banyak melakukan manajemen. Seolah dengan cukup menjalankan fungsi-fungsi manajemen mereka akan mampu membawa perusahaan menang dalam persaingan. Namun berbekal manajemen saja jelas tidak cukup. Mereka harus memimpin.
Dari pengamatan saya, cukup sering seorang direktur yang begitu “getol” bergulat dan bergelut dengan anggaran. Bahkan waktu sehari-harinya sering dilewatkan untuk urusan manajemen, yang seharusnya bisa dilakukan oleh para manajernya. Akibatnya, direktur itu kemudian lupa tugasnya memimpin. Alhasil, organisasi itu tidak bergerak, stagnan, dan para karyawan selalu bertanya, “Akan di bawa ke mana gerangan perusahaan ini…”
Itu adalah kasus di mana pemimpin kebingungan membedakan fungsi kepemimpinan dan manajemen.
Satu perbedaan yang besar antara manajemen dan kepemimpinan adalah pada intuisi. Ada seorang pakar yang dengan yakin mengatakan, “Ketika anda mulai memanfaatkan intuisi anda, maka saat itulah anda sudah mulai melangkah menjadi pemimpin. Jika anda masih lebih banyak berkutat pada pengumpulan data, analisis data, dan mengambil keputusan, anda masih seorang manajer”
Mengapa intuisi begitu penting? Karena informasi yang ada sekarang itu sudah demikian membanjir. Di Amerika Serikat saja, di tahun 1997 diterbitkan 2000 buku bisnis dan manajemen setiap tahunnya. Andaikata anda ingin mengikuti setiap gagasan manajemen itu, dan membutuhkan waktu satu minggu untuk membaca satu buku hingga tamat, maka anda membutuhkan waktu 38 tahun. (setahun 52 buku, 10 tahun 520 buku, 2000 buku = 38 tahun). Itu asumsinya anda ingin membaca setiap buku bisnis dan manajemen yang terbit di sana setiap harinya. Begitu anda selesai, anda sudah ketinggalan 38 tahun terhadap informasi baru yang dicantumkan di buku-buku bisnis dan manajemen itu.
Itu baru buku, belum majalah manajemen, jurnal manajemen, newsletter, program bisnis di televisi, laporan berkala perusahaan. Jelas kita “tenggelam” dalam samudera informasi. Apa yang perlu dilakukan? Pilihlah saja membaca buku-buku yang memang kategorinya “the best”.
Karena demikian luar biasanya informasi, maka jelas tidak cukup untuk mempertimbangkan segalanya ketika anda akan memutuskan suatu inisiatif bisnis. Saat itulah intuisi sangat membantu para pemimpin. Jika anda ingin membaca lebih lanjut tentang informasi intusi, manajemen, anda dapat baca di sini.
Okay, itu saja ulasan saya tentang perbedaan manajemen dan kepemimpinan, jangan lupa baca artikel-artikel manajemen yang lain di web ini. Anda akan bersyukur ketika anda membaca berbagai artikel pada web ini.
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
21.27
0
komentar
 
Senin, 28 September 2009
Kembali Ke Fitrah
Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini. Sebentar lagi kita pun akan menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri. Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar, karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita.
Karena itu, sebelum Ramadhan benar-benar meninggalkan kita, dan Idul Fitri hadir di tengah-tengah kita, sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ dan juga sebagai ‘hari kemenangan’? Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan.
Kembali ke Fitrah
Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai ‘kembali ke fitrah’. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).
Karena itu, secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai ‘kembali ke naluri/pembawaan yang asli’. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya. Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.
Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah
Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai ‘kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba’, sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan.
Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, sekularisme hanya mengakui keberadaan agama, tetapi menolak kewenangan agama untuk mengatur kehidupan. Dalam pandangan sekularisme, hak mengatur manusia atau hak membuat aturan bagi kehidupan manusia mutlak ada pada manusia itu sendiri, bukan pada Tuhan/agama. Hak ini kemudian mereka wujudkan dalam demokrasi, yang menempatkan kedaulatan manusia (kedaulatan rakyat) di atas kedaulatan Tuhan.
Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Saat ini, justru Kapitalismelah—dan bukan Islam—yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat ini, termasuk di negeri ini.
Padahal fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu, perayaan Idul Fitri—yang dimaknai sebagai kembali ke fitrah itu—sudah sepatutnya dijadikan momentum untuk membuang sekularisme, yang memang telah menjauhkan manusia dari fitrahnya yang hakiki sebagai hamba Allah.
Hari Kemenangan
Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, kaum Muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah shaum selama Ramadhan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan. Persoalannya, shaum seperti apa yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi kaum yang menang? Tentu shaum yang berkualitas, sebagaimana yang dilakoni oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat. Shaum Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama bulan Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum Muslim secara kolektif dalam melawan musuh-musuh Islam. Mereka dan generasi gemilang sesudahnya justru sering mencatat prestasi gemilang pada bulan Ramadhan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum Muslim seperti Perang Badar, Fath Makkah (Penaklukan Makkah) atau Pembebasan Andalusia terjadi pada bulan Ramadhan.
Kemenangan Perang Badar telah memperkuat posisi kaum Muslim di dunia internasional saat itu, terutama di Jazirah Arab; bahwa negara baru yang dibangun kaum Muslim, Daulah Islam, adalah negara kuat yang tidak bisa disepelekan. Kondisi ini tentu memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Daulah Islam.
Bandingkan dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi beberapa negara kecil yang lemah. Kondisi ini membuat musuh-musuh Allah dengan gampang dan sombong membantai dan membunuh kaum Muslim serta mengekspolitasi kekayaan alamnya dengan rakus; tanpa ada pelindung sama sekali.
Perang Badar juga secara internal telah membuat pihak-pihak di dalam negeri Daulah Islam—orang-orang Yahudi, musyrik dan munafik—takut untuk berbuat macam-macam terhadap Daulah Islam. Bandingkan dengan keberadaan orang-orang kafir dan antek-antek Barat saat-saat ini di Dunia Islam. Mereka berbuat makar dan kekejian seenaknya. Di negeri-negeri Islam, orang-orang kafir yang didukung oleh para penguasa yang menjadi antek-antek penjajah, membuat berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dengan bebasnya.
Futûhât juga telah memberikan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Lewat futûhât ini dakwah Islam diterima dengan mudah oleh manusia. Futûhât ini juga telah menjadi jalan bagi diterapkannya syariah Islam di seluruh kawasan dunia. Lewat penerapan syariah Islam inilah seluruh warga negera Daulah Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, mendapat kebahagian, kesejahteraan dan keamanan. Peradaban Islam pun kemudian menjadi peradaban unggul.
Karena itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari shaum generasi Sahabat ini.
Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.
Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.
Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.
Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia.
Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan syariah Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُون بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).
UCAPAN SELAMAT:
Pimpinan dan Seluruh Jajaran Redaksi Buletin AL-ISLAM mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَامَنَا وَ صِيَامَكُمْ، وَ كُلُّ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ
Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang mengenakan segala hal yang serba baru. Namun, Idul Fitri dipersembahkan kepada mereka yang ketaatannya kepada Allah bertambah.
(sumber internet)
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
00.39
0
komentar
 
Minggu, 06 September 2009
| 
 Amal-amal Mulia di Bulan Ramadhan Ramadhan adalah bulan mulia   dan bulan pengampunan. Di bawah ini ada 12 amalan mulia yang bisa dikerjakan   di bulan Ramadhan yang kini tengah kita jalani   
 
 
 
 
 
 
 
 
 b. Berobat seperti dengan berbekam (al hijamah) seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. 
   
 
 
 
 
 
 
 
 
 | 
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
08.31
0
komentar
 
Rabu, 02 September 2009
Renungan Ramadhan
Puasa sebentar lagi usai dan pamit undur diri. Lalu apakah kita kembali fitri atau menjadi manusia yang menyesali hari-hari puasa yang berlalu tanpa arti tanpa usaha peningkatan diri dan tanpa pendekatan pada Ilahi? Pada diri kita sendiri jawaban itu bisa dicari dan ditindaklanjuti dengan perbaikan diri sebelum ramadhan pergi.
Malam waktu instropeksi diri menimbang diri apa yang kita cari? apa yang telah kita beri? apa yang harus kita kurangi? apa yang harus kita perbaiki? apa yang selama ini kita cueki? apa yang harus kita peduli? Ramadhan bulan menghisab diri agar saat ramadhan pergi kita menjadi manusia sejati.
Puasa melatih diri untuk tidak meletakkan bahagia pada pencapaian materi. Karena bahagia bergantung materi adalah semu dan sumber kecewanya hati. Karena begitu manusia mencapainya akan segera disadarinya bahwa bahagia-nya sirna bersamaan diraihnya benda-benda yang didambakannya. Karena rahasia bahagia sejati hanya ada pada agama yang lurus dan iman yang kuat dipegang dan bakti pada Allah yang tiada bandingan.
Setelah puasa semoga kita sadar bahwa sia-sia saja mencari kebenaran diluar jalan agama. Karena hanya Allah yang menjamin kepastian kebenaran. Karena akal pikiran manusia hanya janjikan kebenaran nisbi yang mungkin benar tapi mungkin saja salah. Karena tanpa kepastian manusia akan habiskan umur pendeknya hanya untuk mencari-cari, tanpa pernah bertemu kebenaran sejati. Hanya agama yang memberi jalan yang lapang dan lurus pada manusia untuk meraih kebenaran, dan bila manusia teguh beriman kebahagiaan akan malu bila tak menjadi teman setianya.
Di tengah malam, saat aku menatap langit berhias bintang, seakan-akan malam-malam suci itu sedang berbaris menunggu giliran untuk bertemu denganku. Sambil membawa nampan-nampan, yang akan dipersembahkan pada-Nya setiap pagi menjelang.
Akankah nampan-nampan itu kuisi dengan sepenuh cinta. Sanggupkah aku merajut amal mulia, doa, ilmu, alquran, sujud, bahagiakan fakir miskin dan berbuat baik padasesama, sebagai persembahanku pada-Nya.
Ataukah aku akan tega, membiarkan malam-malam suci berlalu sambil mencucurkan air mata karena menahan malu saat harus mempersembahkan nampan-nampan kosong pada-Nya yang telah memberiku segalanya.(Rahmad Rahardjo)
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
07.35
0
komentar
 
Selasa, 01 September 2009
Ini dasar bukan puncak, perkembangan yang cepat (revolusi) hanya bisa tumbuh dari dasar yang tetap tidak goyah. Sesuatu dikatakan memiliki Puncak ketika ia juga memiliki akar yang menghujam dengan kuat.
***
Kesadaran adalah suatu keadaan, dimana setiap orang yang memiliki kesadaran, ia akan mengetahui apa yang ia ketahui. Dari setiap apa-apa yang sudah ia ketahui tersebut, secara langsung akan berfungsi sebagai pijakan untuk pengetahuan atau kesadaran lebih lanjut. ini menunjukan bahwa kesadaran akan menempuh lapisan-lapisan. Semakin tinggi lapisan kesadaran sesorang, pada saat yang sama sebetulnya membuktikan semakin mendasar pula pengetahuan orang itu. Lebih dasarnya suatu pengetahuan akan menuntunnya menemukan prinsip-prinsip yang nyata dalam kehidupan. Prinsip nyata biasanya sederhana, jelas, dan mudah bagi semua orang. Hal inilah yang nantinya akan berguna bagi manusia untuk menganalisis kenyataan kehidupan, tentunya kenyataan yang beragam, hidup penuh dinamika, majemuk, dan kita memang berada di alam yang tersusun(majemuk). Jika anda ingin menganalisis suatu persoalan yang begitu majemuk-beragam, kembalilah pada prinsip pengetahuan. Melalui hal yang prinsipil anda akan mudah melakukan penilaian, tentunya penilaian yang mudah dipahami.
Penilaian yang mudah dipahami, bersifat universal, artinya gampang dipahami oleh sebagian besar orang. Universalitas pemahaman ini muncul, karena secara nyata setiap orang telah memiliki kesamaan. Dengan kesamaannya membuat antar manusia mampu berkomunikasi (commune=sama), Juga mampu bertukar pikiran. Walaupun memang dalam berkomunikasi dan tukar pikiran dapat terjadi salah tukar atau salah paham. Tetapi hal itu tidak menafikan sifat kesamaan manusia satu sama lain.
Dalam hal berpikir, ada prinsip yang pasti dimiiliki setiap orang. Setiap orang memiliki prinsip identitas, yaitu kemampuan untuk menyatakan bahwa sesuatu itu adalah sesuatu itu, bukan sesuatu yang lain, dan setiap segala sesuatu memiliki identitasnya, yang kedua adalah prinsip non - kontradiksi yaitu ketidakmauan atau ketidakmampuan pikiran mengalami “konslet” atau kontradiksi, sehingga mustahil ada dua hal yang bertentangan diyakini dalam waktu yang bersamaan, misalnya melekatkan sifat “jujur sekaligus bohong” pada seseorang, ini jelas tidak mungkin, jelas kontradiksi. dan yang ketiga prinsip kausalitas dengan alasan bahwa segala akibat memiliki sebab, sampai pada Sebab yang tidak memiliki sebab lagi. Universalitas prinsip-prinsip ini adalah dasar untuk merevolusi kesadaran.
***
Kesadaran hanya didapat dari pengetahuan, antara kesadaran dan pengetahuan sangat berkaitan erat. Juga dengan bahasa. Karena Setiap pengetahuan hanya bisa diketahui ketika diwakilkan melalui simbol-simbol yang berhubungan satu sama lain yaitu bahasa. Fungsi relasi simbol-simbol, kemampuan menghubung-hubungkan ada karena prinsip-prinsip pengetahuan di atas tadi, juga karena prinsip untuk menghubungkan telah ada di saat akal ada pada diri manusia.
Prinsip menghubungkan dalam dimensi matematis misalnya pada operasi bilangan : jumlah (+) kurang (?) kali (x) bagi (:) Lebih kurang (<, >) sama dengan (=) telah ada secara inhern pada diri manusia, dengan simbol yang disepakati bersama. Semua orang dalam jagat ini pasti memiliki pahaman yang sama mengenai konsep matematis ini. Selain itu, prinsip menghubungkan yang ada dalam dimensi bahasa juga inhern sebagaimana pada dimensi matematis di atas. Kata Depan (Proposition) yang menghubungkan kata dan kata, dan kata sambung (Conjuction) yang menghubungkan kalimat dengan kalimat, akan dipahami secara pasti oleh setiap orang walau dengan bahasa yang berbeda. Dengan prinsip-prinsip inilah manusia mampu berkomunikasi. Memang ada komunikasi yang mampu menyampaikan gagasan tanpa reduksi pemahaman dari pendengar, dan adakalanya suatu gagasan tereduksi pada saat penyampaian, ini tergantung seberapa ketat prinsip-prinsip ini atau prinsip komunikasi dipergunakan. Bahasa sangat berkaitan erat dengan pengetahuan dan kesadaran, tanpa bahasa yang baik maka orang tidak mungkin memiliki kesadaran penuh.
Bahasa, Kesadaran, dan pengetahuan adalah tiga hal yang tidak mungkin dipisahkan, ketiganya akan selalu menyertai perjalanan manusia yang memiliki potensi berpikir, dan orang yang berpikir akan menempuh perjalanan kesadarannya, lebih tinggi lagi. Kalau kita ingin tahu bagaimana setiap orang mengawali pengetahuannya, bagaimanakah proses terjadinya pengetahuan dan bahasa pada semua orang ? Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan asumsi bahwa : kita menggunakan pengetahuan yang sudah ada pada diri kita untuk menanti jawaban. Seperti halnya kita belajar bahasa, sudah tentu kita mempelajarinya dengan bahasa yang sudah melekat pada diri kita.
***
Jangan khawatir untuk menggunakan aql, dengan aql atau berpikir yang konsisten kita akan menemukan kebenaran secara PASTI. Nanti, dalam banyak persoalan disana-sini kita akan berpapasan dengan paham-paham pemikiran yang berbeda. Kaum relativis, skeptis, nihilis, dll. Dimana mereka berupaya menyalahkan segala hal tanpa ada ujung solusi, merusak sendiri tatanan kejelasan, yang dengan berbagai dalil-dalil mereka merelatifkan segala sesuatu…, ketika mereka ingin merelatifkan segala sesuatu, mereka menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya bagi mereka adalah dalil mutlak, pada saat yang sama mereka menolak pendapatnya sendiri,
Contoh :
Seorang nihilis akan berkata
“sesungguhnya tidak ada sesuatupun di alam ini!”
( apakah alam yg dimaksud tidak ada ?)
Seorang skeptis akan berkata
“ Jika sesuatu itu pun ada, maka tidak bisa diketahui ! ”
( apakah ini bukan pengetahuan ?)
“Jika bisa diketahui, maka tidak bisa disampaikan kepada yang lain!”
[ kalimat ini adalah kalimat berita, penyampaian, apalagi ada penekanan penyampaian –
dengan menggunakan tanda seru (!) ]
kaum relativis akan berkata
“ Kebenaran itu relatif “
(apakah pernyataan ini masih relatif kebenarannya)
kalau memang masih relatif, berarti tidak perlu dipercaya, padahal dapat dipastikan
orang yang berpendapat ini ingin pendapatnya dipercaya
“jangan percaya pada aql, karena aql terbatas”
( apakah kalimat ini juga tidak perlu kita percaya)
(kalau memang terbatas berarti kita tahu batasannya)
itulah beberapa pendapat yang masih banyak diperdengarkan orang-orang lalu bagaimana kita membahasnya.
Batasan aql atau pikiran adalah ketidaktahuan. Tidak tahunya aqal bukanlah pembatas menuju pengetahuan, potensi aql untuk mengetahui lebih lagi, akan selalu ada. Kalau memang aql masih tidak dipercaya, apalagi sumber pengetahuan yang bisa dipercaya: apakah mata, telinga, kulit, hidung, padahal semuanya itu juga terbatas, sebagaimana hati kita, ia juga terbatas. Ada hati yang bersih, ada hati yang kotor, tentunya berbeda, lalu bagaimana anda membedakannya ? Aql atau pikiran juga mengalami beberapa kondisi, ada kondisi dimana pikiran mencapai sesuatu yang pasti benar dan ada pikiran yang pasti salah, sementara kondisi yang lain yaitu ragu-ragu tidak memiliki penilaian, ada di persimpangan jalan atau tidak punya nilai selain sarana untuk mengetahui sesuatu. Dari semua sumber pengetahuan tadi: alat-alat indra, aql, dan hati, masing-masing memiliki peran yang sudah tentu. Ada syarat yang pasti agar aql kita menemui kebenaran, sebagaimana ada syarat yang pasti agar hati kita bersih, yaitu pikiran yang sehat, konsisten, dan jelas. Hati tak pernah berbohong, itu ekuivalen dengan pikiran yang konsisten, logis.
***
Dari uraian diatas, dinyatakan bahwa kesadaran setiap orang akan menempuh tahapan-tahapannya, kondisi ini tidak mungkin tercegah, bahkan dibatasi. Karena kecendrungan alami manusia agar menetapkan sesuatu secara pasti, sehingga meyakini sesuatu dengan mantap. Upaya untuk membatasi perkembangan kesadaran hanya akan membuktikan adanya kebutuhan kepada kesadaran yang lebih tinggi. Kita ingin kepastian, dan diketahui secara universal.
Untuk menempuh pengetahuan yang universal, kita harus memulainya dari dasar-dasar pengetahuan yang universal, yaitu sesuatu yang sudah jelas pada diri kita semua. Berawal dari yang paling jelas, kita akan berupaya untuk memperjelas yang lain yang belum jelas. Kembalilah pada prinsip, inilah paham kita: paham absholutisme.
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
23.38
0
komentar
 
BROSUR HMI
ORGANISASI INTELEKTUAL & PERKADERAN Generasi Ummat & Bangsa
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG DUMAI
(Contact Person : 0852 6541 4667 - 0813 7132 3760 )
Komentar – komentar Tokoh
Prof.DR.H. Muchtar Ahmad (Mantan Rektor UNRI)
“Mahasiswa di Universitas seyogyanya memanfaatkan organisasi mahasiswa seperti HMI untuk mengembangkan identitas kepribadian dan kepemimpinan”.
Prof.DR.Alaidin Koto,MA (Dosen UIN SUSQA / Dewan Pertimbangan Gubernur Riau)
“Bagi saya, HMI membentuk seseorang menjadi lebih dewasa dalam menilai perbedaan, menumbuhkan sikap indenpenden dan mandiri. Oleh sebab itu, saya mengajak generasi muda terutama mahasiswa untuk memanfaatkan HMI sebagai wadah kreatifitas”.
Drs. Nahar Effendi, M.Si (Ketua STIA Dumai)
“ HMI merupakan Organisasi mahasiswa yang lebih mengedepankan kualitas dari pada kuantitas sehingga banyak kader-kader ummat dan bangsa yang dilahirkan melalui rahim HMI. Untuk itu boleh saya katakan bahwa sangat rugi rasanya bila para mahasiswa Islam tidak menjadi kader HMI.
Bennedi Boiman (Mantan Ketua DPRD Kota Dumai)
“ HMI dikenal sebagai organisasi kader calon pemimpin yang responsive, kritis dan mampu mewarnai corak serta dinamika perkembangan zaman dan salah satu kelebihan HMI adalah senantiasa mampu menjaga indenpendensinya. Dengan demikian sampai saat ini HMI merupakan Organisasi Mahasiswa yang sangat diperhitungkan.
Sejarah Singkat HMI
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tanggal 05 Februari 1947 oleh beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yokyakarta, sekarang dikenal Universitas Islam Indonesia (UII) Yokyakarta yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm). Jabatan terakhir beliau adalah Guru Besar UII.
 HMI berazaskan Islam (Pasal 3 AD HMI)
Internalisasi nilai-nilai Islam menjadi nafas setiap gerakan dan aktifitas kader HMI.
 Tujuan HMI (Pasal 4 AD HMI)
“Tebinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT ”.
 Usaha HMI (Pasal 5 AD HMI)
a. Membina pribadi muslim untuk mencapai akhlaqul karimah.
b. Mengembangkan potensi kreatif,keilmuan, sosial dan budaya.
c. Mempelopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan ummat manusia.
d. Memajukan kehidupan ummat dalam mengamalkan Dinnul Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
e. Memperkuat Ukhuwah Islamiayah sesama ummat Islam sedunia.
f. Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional.
g. Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan huruf (a) s/d (e) dan sesuai dengan azas, fungsi, dan peran organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan organisasi.
 HMI Bersifat Indenpenden (Pasal 6 AD HMI)
 HMI berfungsi sebagai Organisasi Kader
Perkaderan dilakukan dengan beberapa metoda diantaranya adalah Training Formal (secara berjenjang serta memiliki Standar Nasional) dan Non-Formal.
1. Training Formal
a. Latihan Kader I (Basic Training)
Tujuan : “Terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader ummat dan kader bangsa”. → Syarat Menjadi Anggota HMI : Harus Lulus Latihan Kader I (LK I)
b. Latihan Kader II (Intermediate Training)
Tujuan : “Terbinanya kader HMI yang mempunyai kemampuan intelektual dan mampu mengelola organisasi serta berjuang untuk meneruskan dan mengemban misi HMI”.
c. Latihan Kader III (Advance Training)
Tujuan : “Terbinanya kader pemimpin yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan sosial”.
2. Training Non- Formal
Terdiri dari PUSDIKLAT Pimpinan HMI, Senior Course (Pelatihan Instruktur), Latihan Khusus KOHATI, Up-Grading Kepengurusan, Kesekretariatan, Pengembangan Profesi dsb.
Tujuan : “ Terbinanya kader yang memiliki skill dan profesionalisme dalam bidang manajerial, keinstrukturan, keorganisasian, kepemimpinan dan kewirausahaan serta profesionalisme lainnya”.
Diposting oleh
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG DUMAI
di
11.13
1 komentar
 
HMI Cabang Dumai
 
Blog Archive
Bismillah
 
Foto Bersama
Kegiatan Donor Darah Massal
Hmi Kerja sama dengan PMI Dumai
Ketua Panitia Pelantikan
Laporan Ketupat





