Rabu, 02 September 2009

Renungan Ramadhan


Renungan Ramadhan

Puasa sebentar lagi usai dan pamit undur diri. Lalu apakah kita kembali fitri atau menjadi manusia yang menyesali hari-hari puasa yang berlalu tanpa arti tanpa usaha peningkatan diri dan tanpa pendekatan pada Ilahi? Pada diri kita sendiri jawaban itu bisa dicari dan ditindaklanjuti dengan perbaikan diri sebelum ramadhan pergi.

Malam waktu instropeksi diri menimbang diri apa yang kita cari? apa yang telah kita beri? apa yang harus kita kurangi? apa yang harus kita perbaiki? apa yang selama ini kita cueki? apa yang harus kita peduli? Ramadhan bulan menghisab diri agar saat ramadhan pergi kita menjadi manusia sejati.

Puasa melatih diri untuk tidak meletakkan bahagia pada pencapaian materi. Karena bahagia bergantung materi adalah semu dan sumber kecewanya hati. Karena begitu manusia mencapainya akan segera disadarinya bahwa bahagia-nya sirna bersamaan diraihnya benda-benda yang didambakannya. Karena rahasia bahagia sejati hanya ada pada agama yang lurus dan iman yang kuat dipegang dan bakti pada Allah yang tiada bandingan.

Setelah puasa semoga kita sadar bahwa sia-sia saja mencari kebenaran diluar jalan agama. Karena hanya Allah yang menjamin kepastian kebenaran. Karena akal pikiran manusia hanya janjikan kebenaran nisbi yang mungkin benar tapi mungkin saja salah. Karena tanpa kepastian manusia akan habiskan umur pendeknya hanya untuk mencari-cari, tanpa pernah bertemu kebenaran sejati. Hanya agama yang memberi jalan yang lapang dan lurus pada manusia untuk meraih kebenaran, dan bila manusia teguh beriman kebahagiaan akan malu bila tak menjadi teman setianya.

Di tengah malam, saat aku menatap langit berhias bintang, seakan-akan malam-malam suci itu sedang berbaris menunggu giliran untuk bertemu denganku. Sambil membawa nampan-nampan, yang akan dipersembahkan pada-Nya setiap pagi menjelang.

Akankah nampan-nampan itu kuisi dengan sepenuh cinta. Sanggupkah aku merajut amal mulia, doa, ilmu, alquran, sujud, bahagiakan fakir miskin dan berbuat baik padasesama, sebagai persembahanku pada-Nya.

Ataukah aku akan tega, membiarkan malam-malam suci berlalu sambil mencucurkan air mata karena menahan malu saat harus mempersembahkan nampan-nampan kosong pada-Nya yang telah memberiku segalanya.(Rahmad Rahardjo)


0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com