Senin, 28 September 2009

Kembali Ke Fitrah



Kembali Ke Fitrah, Kembali Meraih Kemenangan

Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini. Sebentar lagi kita pun akan menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri. Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar, karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita.

Karena itu, sebelum Ramadhan benar-benar meninggalkan kita, dan Idul Fitri hadir di tengah-tengah kita, sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ dan juga sebagai ‘hari kemenangan’? Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan.

Kembali ke Fitrah

Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai ‘kembali ke fitrah’. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).

Karena itu, secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai ‘kembali ke naluri/pembawaan yang asli’. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya. Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.

Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah

Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai ‘kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba’, sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan. 

Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, sekularisme hanya mengakui keberadaan agama, tetapi menolak kewenangan agama untuk mengatur kehidupan. Dalam pandangan sekularisme, hak mengatur manusia atau hak membuat aturan bagi kehidupan manusia mutlak ada pada manusia itu sendiri, bukan pada Tuhan/agama. Hak ini kemudian mereka wujudkan dalam demokrasi, yang menempatkan kedaulatan manusia (kedaulatan rakyat) di atas kedaulatan Tuhan. 

Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Saat ini, justru Kapitalismelah—dan bukan Islam—yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat ini, termasuk di negeri ini.

Padahal fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ


Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50). 

Karena itu, perayaan Idul Fitri—yang dimaknai sebagai kembali ke fitrah itu—sudah sepatutnya dijadikan momentum untuk membuang sekularisme, yang memang telah menjauhkan manusia dari fitrahnya yang hakiki sebagai hamba Allah.

Hari Kemenangan

Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, kaum Muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah shaum selama Ramadhan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan. Persoalannya, shaum seperti apa yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi kaum yang menang? Tentu shaum yang berkualitas, sebagaimana yang dilakoni oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat. Shaum Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama bulan Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum Muslim secara kolektif dalam melawan musuh-musuh Islam. Mereka dan generasi gemilang sesudahnya justru sering mencatat prestasi gemilang pada bulan Ramadhan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum Muslim seperti Perang Badar, Fath Makkah (Penaklukan Makkah) atau Pembebasan Andalusia terjadi pada bulan Ramadhan. 

Kemenangan Perang Badar telah memperkuat posisi kaum Muslim di dunia internasional saat itu, terutama di Jazirah Arab; bahwa negara baru yang dibangun kaum Muslim, Daulah Islam, adalah negara kuat yang tidak bisa disepelekan. Kondisi ini tentu memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Daulah Islam. 

Bandingkan dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi beberapa negara kecil yang lemah. Kondisi ini membuat musuh-musuh Allah dengan gampang dan sombong membantai dan membunuh kaum Muslim serta mengekspolitasi kekayaan alamnya dengan rakus; tanpa ada pelindung sama sekali. 

Perang Badar juga secara internal telah membuat pihak-pihak di dalam negeri Daulah Islam—orang-orang Yahudi, musyrik dan munafik—takut untuk berbuat macam-macam terhadap Daulah Islam. Bandingkan dengan keberadaan orang-orang kafir dan antek-antek Barat saat-saat ini di Dunia Islam. Mereka berbuat makar dan kekejian seenaknya. Di negeri-negeri Islam, orang-orang kafir yang didukung oleh para penguasa yang menjadi antek-antek penjajah, membuat berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dengan bebasnya. 

Futûhât juga telah memberikan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Lewat futûhât ini dakwah Islam diterima dengan mudah oleh manusia. Futûhât ini juga telah menjadi jalan bagi diterapkannya syariah Islam di seluruh kawasan dunia. Lewat penerapan syariah Islam inilah seluruh warga negera Daulah Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, mendapat kebahagian, kesejahteraan dan keamanan. Peradaban Islam pun kemudian menjadi peradaban unggul. 

Karena itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari shaum generasi Sahabat ini. 

Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim. 

Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme. 

Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah. 

Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia. 

Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan syariah Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:


وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُون بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ


Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).


UCAPAN SELAMAT:

Pimpinan dan Seluruh Jajaran Redaksi Buletin AL-ISLAM mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H


تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَامَنَا وَ صِيَامَكُمْ، وَ كُلُّ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ


Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang mengenakan segala hal yang serba baru. Namun, Idul Fitri dipersembahkan kepada mereka yang ketaatannya kepada Allah bertambah.

(sumber internet)

Minggu, 06 September 2009


 

Amal-amal Mulia di Bulan Ramadhan

 

Ramadhan adalah bulan mulia dan bulan pengampunan. Di bawah ini ada 12 amalan mulia yang bisa dikerjakan di bulan Ramadhan yang kini tengah kita jalani

Rasulullah Saw bersabda; “Apabila orang-orang mengetahui nilai lebih Ramadhan, mereka akan berharap agar semua bulan dijadikan sebagai bulan Ramadhan”. (HR. Ibnu Huzaimah).

 

Diantara amaliyah-amaliyah Ramadhan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW baik itu amaliyah ibadah maupun amaliyah ijtijma’iyah adalah sebagai berikut:


I. Shiyam (puasa)


Amaliyah terpenting selama bulan Ramadhan tentu saja adalah shiyam (puasa), sebagaimana termaktub dalam firman Allah pada surat al Baqarah : 183-187. Dan diantara amaliyah shiyam Ramadhan yang diajarkan oleh Rasulullah ialah:


a. Berwawasan yang benar tentang puasa dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka hal itu akan menjadi pelebur dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi).

b. Tidak meninggalkan shiyam, walaupun sehari, dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa : “Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshoh atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus bahkan seandainya ia berpuasa selama hidup” (HR At Turmudzi).

c. Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai shiyam. Rasulullah SAW pernah bersabda: Bukanlah (hakikat) shiyam itu sekedar meninggalkan makan dan minum, melainkan meninggalkan pekerti sia-sia (tidak bernilai) dan kata-kata bohong” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).


d. Bersungguh-sungguh melakukan shiyam dengan menepati aturan-aturannya. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh Iman dan kesungguhan, maka akan diampunkani dosa-dosa yang pernah dilakukan “ (HR. Bukhori, Muslim dan Abu Daud).

e. Bersahur, makanan yang berkah (al ghoda’ al mubarak). Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda bahwa : “ Makanan sahur semuanya bernilai berkah, maka jangan anda tinggalkan, sekalipun hanya dengan seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang makan sahur” (HR. Ahmad). Dan disunnahkan mengakhirkan waktu makan sahur .

f. Ifthar, berbuka puasa. Rasululah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthor (berbuka puasa) walau dengan air saja. Rasulullah SAW bersabda bahwa: “ Sesungguhnya termasuk hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya, ialah mereka yang bersegera berbuka puasa. “ (HR. Ahmad dan Tirmidzi).


g. Berdo’a. Sesudah menyelesaikan ibadah puasa dengan ber-ifthar, sebagai wujud syukur kepada Allah, Rasulullah Saw berdo’a.

2. Tilawah (membaca) al Qur’an


Ramadhan adalah bulan diturunkannya al Qur’an. (QS. Al Baqarah: 185). Pada bulan ini Malaikat Jibril pernah turun dan menderas al Qur’an dengan Rasulullah Saw (HR. Bukhori). Imam az Zuhri pernah berkata : “ Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca al Qur’an”. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid (kaidah membaca al Qur’an) dan esensi dasar diturunkannya al Qur’an untuk ditadabburi, dipahami dan diamalkan (QS. Shad: 29).


3. Ith’am ath tho’am (memberikan makanan dan shodaqoh lainnya).

Salah satu amaliyah Ramadhan Rasulullah ialah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti beliau sabdakan :


“Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut “ (HR. Turmudzi dan an Nasa’i). Memberi makan dan sedekah selama bulan Ramadhan ini bukan hanya untuk keperluan ifthar melainkan juga untuk segala kebajikan. Rasulullah yang dikenal dermawan dan penuh peduli terhadap nasib umat, pada bulan Ramadhan kedermawanan dan keperduliannya tampil lebih menonjol.

4. Memperhatikan kesehatan.


Shaum memang termasuk kategori ibadah mahdhah (murni). Sekalipun demikian agar nilai maksimal ibadah puasa dapat diraih, Rasulullah justru mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa dibawah ini:

a. Bersikat gigi (bersiwak) (HR. Bukhori dan Abu Daud).

b. Berobat seperti dengan berbekam (al hijamah) seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.


c. Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud Ra, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. ( HR. AL Haitsami)

5. Memperhatikan keharmonisan keluarga. Sekalipun puasa adalah ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah, yang memang juga mempunyai nilai khusus dihadapan Allah, tetapi agar hal tersebut di atas dapat terealisir dengan lebih baik, maka Rasulullah justru mensyari’atkan agar selama berpuasa umat tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga.

6. Memperhatikan aktivitas da’wah dan social

 

Kontradiksi dengan kesan dan perilaku umum tentang berpuasa, Rasulullah Saw justru menjadikan bulan puasa sebagai bulan penuh amaliyah dan aktivitas positif. Selain yang telah tergambar seperti tersebut dimuka, beliau juga aktif melakukan da’wah, kegiatan sosial, perjalanan jauh dan berjihad.

Dalam sembilan kali Ramadhan yang pernah beliau alami, beliau misalnya melakukan perjalanan dalam perang Badr (tahun 2 H), Mekkah ( tahun 8 H), dan Tabuk (tahun 9 H), mengirimkan 6 askariyah (pasukan jihad yang tidak secara langsung beliau pimpin), melaksanakan perkawinan putrinya (Fathimah) dengan Ali RA, beliau berkeluarga dengan Hafshoh dan Zainab Ra, meruntuhkan berhala-berhala Arab seperti Lata, Manat dan Suwa’, meruntuhkan masjid adh Dhiror, dll.


7. Qiyam Ramadhan (sholat tarawih)


Diantara kegiatan ibadah Rasulullah selama bulan Ramadhan ialah ibadah qiyam al lail, yang belakangan lebih populer disebut sebagai shalat tarowih. Hal demikian ini beliau lakukan bersama dengan para sahabat beliau. Sekalipun karena kekhawatiran bila akhirnya shalat tarawih (berjama’ah) itu menjadi diwajibkan oleh Allah, Rasulullah kemudian meninggalkannya. (HR. Bukhori Muslim). Dalam situasi itu riwayat yang shohih menyebutkan bahwa Rasulullah shalat tarawih dalam 11 raka’at dengan bacaan-bacaan yang panjang (HR. Bukhori Muslim).


Tetapi ketika kekhawatiran tentang wajibnya shalat tarawih itu tidak ada lagi, kita dapatkan riwayat-riwayat lain, juga dari Umar ibn al Khothob Ra, yang menyebutkan jumlah raka’at shalat tarawih adalah 21 atau 23 raka’at. (HR. Abdur Razaq dan al Baihaqi).


8. I’tikaf.


Diantara amaliyah sunnah yang selalu dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam bulan Ramadhan ialah i’tikaf, yakni berdiam diri di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Seperti dilaporkan oleh Abu Sa’id al Khudlri Ra, hal demikiam ini pernah beliau lakukan pada awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Ibadah yang demikian penting ini sering dianggap berat sehingga ditinggalkan oleh orang-orang Islam, maka tidak aneh kalau Imam az Zuhri berkomentar; “Aneh benar keadaan orang Islam, mereka meninggalkan ibadah i’tikaf, padahal Rasulullah Saw tak pernah meninggalkannya semenjak beliau datang ke Madinah sehingga wafatnya disana.”

9. Lailat al Qodr


Selama bulan Ramadhan ini terdapat satu malam yang sangat berkah, yang populer disebut sebagai lailat al Qadr, malam yang lebih berharga dari seribu bulan (QS. Al Qadr : 1-5). Rasulullah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meraih lailatul qadr terutama pada malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan puasa (HR. Bukhori Muslim ).

Dalam hal ini Rasulullah menyampaikan bahwa : “Barangsiapa yang sholat pada malam lailatul qadr berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. “ (Hr. Bukhori Muslim).

10. Umroh.


Umroh atau haji kecil itu bagus juga apabila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, sebab nilainya bisa berlipat-lipat, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah kepada seorang wanita dari anshar bernama Ummu Sinan: “Agar apabila datang bulan Ramadhan ia melakukan umroh, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah SAW. (Hr. Bukhori Muslim)

11. Zakat Fitrah


Pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan amaliyah yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW ialah membayarkan zakat fitra, suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam baik laik-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak (HR. Bukhori Muslim).

Zakat fitra ini juga berfungsi sebagai pelengkap penyucian untuk pelaku puasa dan untuk membantu kaum fakir miskin. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

12. Ramadhan bulan taubat menuju fithrah


Selama sebulan penuh, secara berduyun-duyun umat kembali kepada Allah yang Maha Pemurah juga Maha Pengampun. Dia Dzat yang menyampaikan bahwa pada setiap malam bulan Ramadhan Allah membebaskan banyak hambaNya dari api nereka (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Karenanya inilah satu kesempatan emas agar umat dapat kembali, bertaubat agar ketika mereka selesai melaksanakan ibadah puasa mereka benar-benar kembali kepada fithrahnya. (bul/Hidayatullah)

sumber artikel islam

 


Rabu, 02 September 2009

Renungan Ramadhan


Renungan Ramadhan

Puasa sebentar lagi usai dan pamit undur diri. Lalu apakah kita kembali fitri atau menjadi manusia yang menyesali hari-hari puasa yang berlalu tanpa arti tanpa usaha peningkatan diri dan tanpa pendekatan pada Ilahi? Pada diri kita sendiri jawaban itu bisa dicari dan ditindaklanjuti dengan perbaikan diri sebelum ramadhan pergi.

Malam waktu instropeksi diri menimbang diri apa yang kita cari? apa yang telah kita beri? apa yang harus kita kurangi? apa yang harus kita perbaiki? apa yang selama ini kita cueki? apa yang harus kita peduli? Ramadhan bulan menghisab diri agar saat ramadhan pergi kita menjadi manusia sejati.

Puasa melatih diri untuk tidak meletakkan bahagia pada pencapaian materi. Karena bahagia bergantung materi adalah semu dan sumber kecewanya hati. Karena begitu manusia mencapainya akan segera disadarinya bahwa bahagia-nya sirna bersamaan diraihnya benda-benda yang didambakannya. Karena rahasia bahagia sejati hanya ada pada agama yang lurus dan iman yang kuat dipegang dan bakti pada Allah yang tiada bandingan.

Setelah puasa semoga kita sadar bahwa sia-sia saja mencari kebenaran diluar jalan agama. Karena hanya Allah yang menjamin kepastian kebenaran. Karena akal pikiran manusia hanya janjikan kebenaran nisbi yang mungkin benar tapi mungkin saja salah. Karena tanpa kepastian manusia akan habiskan umur pendeknya hanya untuk mencari-cari, tanpa pernah bertemu kebenaran sejati. Hanya agama yang memberi jalan yang lapang dan lurus pada manusia untuk meraih kebenaran, dan bila manusia teguh beriman kebahagiaan akan malu bila tak menjadi teman setianya.

Di tengah malam, saat aku menatap langit berhias bintang, seakan-akan malam-malam suci itu sedang berbaris menunggu giliran untuk bertemu denganku. Sambil membawa nampan-nampan, yang akan dipersembahkan pada-Nya setiap pagi menjelang.

Akankah nampan-nampan itu kuisi dengan sepenuh cinta. Sanggupkah aku merajut amal mulia, doa, ilmu, alquran, sujud, bahagiakan fakir miskin dan berbuat baik padasesama, sebagai persembahanku pada-Nya.

Ataukah aku akan tega, membiarkan malam-malam suci berlalu sambil mencucurkan air mata karena menahan malu saat harus mempersembahkan nampan-nampan kosong pada-Nya yang telah memberiku segalanya.(Rahmad Rahardjo)


Selasa, 01 September 2009


DASAR REVOLUSI KESADARAN

Ini dasar bukan puncak, perkembangan yang cepat (revolusi) hanya bisa tumbuh dari dasar yang tetap tidak goyah. Sesuatu dikatakan memiliki Puncak ketika ia juga memiliki akar yang menghujam dengan kuat.
***
Kesadaran adalah suatu keadaan, dimana setiap orang yang memiliki kesadaran, ia akan mengetahui apa yang ia ketahui. Dari setiap apa-apa yang sudah ia ketahui tersebut, secara langsung akan berfungsi sebagai pijakan untuk pengetahuan atau kesadaran lebih lanjut. ini menunjukan bahwa kesadaran akan menempuh lapisan-lapisan. Semakin tinggi lapisan kesadaran sesorang, pada saat yang sama sebetulnya membuktikan semakin mendasar pula pengetahuan orang itu. Lebih dasarnya suatu pengetahuan akan menuntunnya menemukan prinsip-prinsip yang nyata dalam kehidupan. Prinsip nyata biasanya sederhana, jelas, dan mudah bagi semua orang. Hal inilah yang nantinya akan berguna bagi manusia untuk menganalisis kenyataan kehidupan, tentunya kenyataan yang beragam, hidup penuh dinamika, majemuk, dan kita memang berada di alam yang tersusun(majemuk). Jika anda ingin menganalisis suatu persoalan yang begitu majemuk-beragam, kembalilah pada prinsip pengetahuan. Melalui hal yang prinsipil anda akan mudah melakukan penilaian, tentunya penilaian yang mudah dipahami.
Penilaian yang mudah dipahami, bersifat universal, artinya gampang dipahami oleh sebagian besar orang. Universalitas pemahaman ini muncul, karena secara nyata setiap orang telah memiliki kesamaan. Dengan kesamaannya membuat antar manusia mampu berkomunikasi (commune=sama), Juga mampu bertukar pikiran. Walaupun memang dalam berkomunikasi dan tukar pikiran dapat terjadi salah tukar atau salah paham. Tetapi hal itu tidak menafikan sifat kesamaan manusia satu sama lain.
Dalam hal berpikir, ada prinsip yang pasti dimiiliki setiap orang. Setiap orang memiliki prinsip identitas, yaitu kemampuan untuk menyatakan bahwa sesuatu itu adalah sesuatu itu, bukan sesuatu yang lain, dan setiap segala sesuatu memiliki identitasnya, yang kedua adalah prinsip non - kontradiksi yaitu ketidakmauan atau ketidakmampuan pikiran mengalami “konslet” atau kontradiksi, sehingga mustahil ada dua hal yang bertentangan diyakini dalam waktu yang bersamaan, misalnya melekatkan sifat “jujur sekaligus bohong” pada seseorang, ini jelas tidak mungkin, jelas kontradiksi. dan yang ketiga prinsip kausalitas dengan alasan bahwa segala akibat memiliki sebab, sampai pada Sebab yang tidak memiliki sebab lagi. Universalitas prinsip-prinsip ini adalah dasar untuk merevolusi kesadaran.
***
Kesadaran hanya didapat dari pengetahuan, antara kesadaran dan pengetahuan sangat berkaitan erat. Juga dengan bahasa. Karena Setiap pengetahuan hanya bisa diketahui ketika diwakilkan melalui simbol-simbol yang berhubungan satu sama lain yaitu bahasa. Fungsi relasi simbol-simbol, kemampuan menghubung-hubungkan ada karena prinsip-prinsip pengetahuan di atas tadi, juga karena prinsip untuk menghubungkan telah ada di saat akal ada pada diri manusia.
Prinsip menghubungkan dalam dimensi matematis misalnya pada operasi bilangan : jumlah (+) kurang (?) kali (x) bagi (:) Lebih kurang (<, >) sama dengan (=) telah ada secara inhern pada diri manusia, dengan simbol yang disepakati bersama. Semua orang dalam jagat ini pasti memiliki pahaman yang sama mengenai konsep matematis ini. Selain itu, prinsip menghubungkan yang ada dalam dimensi bahasa juga inhern sebagaimana pada dimensi matematis di atas. Kata Depan (Proposition) yang menghubungkan kata dan kata, dan kata sambung (Conjuction) yang menghubungkan kalimat dengan kalimat, akan dipahami secara pasti oleh setiap orang walau dengan bahasa yang berbeda. Dengan prinsip-prinsip inilah manusia mampu berkomunikasi. Memang ada komunikasi yang mampu menyampaikan gagasan tanpa reduksi pemahaman dari pendengar, dan adakalanya suatu gagasan tereduksi pada saat penyampaian, ini tergantung seberapa ketat prinsip-prinsip ini atau prinsip komunikasi dipergunakan. Bahasa sangat berkaitan erat dengan pengetahuan dan kesadaran, tanpa bahasa yang baik maka orang tidak mungkin memiliki kesadaran penuh.
Bahasa, Kesadaran, dan pengetahuan adalah tiga hal yang tidak mungkin dipisahkan, ketiganya akan selalu menyertai perjalanan manusia yang memiliki potensi berpikir, dan orang yang berpikir akan menempuh perjalanan kesadarannya, lebih tinggi lagi. Kalau kita ingin tahu bagaimana setiap orang mengawali pengetahuannya, bagaimanakah proses terjadinya pengetahuan dan bahasa pada semua orang ? Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan asumsi bahwa : kita menggunakan pengetahuan yang sudah ada pada diri kita untuk menanti jawaban. Seperti halnya kita belajar bahasa, sudah tentu kita mempelajarinya dengan bahasa yang sudah melekat pada diri kita.
***
Jangan khawatir untuk menggunakan aql, dengan aql atau berpikir yang konsisten kita akan menemukan kebenaran secara PASTI. Nanti, dalam banyak persoalan disana-sini kita akan berpapasan dengan paham-paham pemikiran yang berbeda. Kaum relativis, skeptis, nihilis, dll. Dimana mereka berupaya menyalahkan segala hal tanpa ada ujung solusi, merusak sendiri tatanan kejelasan, yang dengan berbagai dalil-dalil mereka merelatifkan segala sesuatu…, ketika mereka ingin merelatifkan segala sesuatu, mereka menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya bagi mereka adalah dalil mutlak, pada saat yang sama mereka menolak pendapatnya sendiri,
Contoh :
Seorang nihilis akan berkata
“sesungguhnya tidak ada sesuatupun di alam ini!”
( apakah alam yg dimaksud tidak ada ?)
Seorang skeptis akan berkata
“ Jika sesuatu itu pun ada, maka tidak bisa diketahui ! ”
( apakah ini bukan pengetahuan ?)
“Jika bisa diketahui, maka tidak bisa disampaikan kepada yang lain!”
[ kalimat ini adalah kalimat berita, penyampaian, apalagi ada penekanan penyampaian –
dengan menggunakan tanda seru (!) ]
kaum relativis akan berkata
“ Kebenaran itu relatif “
(apakah pernyataan ini masih relatif kebenarannya)
kalau memang masih relatif, berarti tidak perlu dipercaya, padahal dapat dipastikan
orang yang berpendapat ini ingin pendapatnya dipercaya
“jangan percaya pada aql, karena aql terbatas”
( apakah kalimat ini juga tidak perlu kita percaya)
(kalau memang terbatas berarti kita tahu batasannya)
itulah beberapa pendapat yang masih banyak diperdengarkan orang-orang lalu bagaimana kita membahasnya.
Batasan aql atau pikiran adalah ketidaktahuan. Tidak tahunya aqal bukanlah pembatas menuju pengetahuan, potensi aql untuk mengetahui lebih lagi, akan selalu ada. Kalau memang aql masih tidak dipercaya, apalagi sumber pengetahuan yang bisa dipercaya: apakah mata, telinga, kulit, hidung, padahal semuanya itu juga terbatas, sebagaimana hati kita, ia juga terbatas. Ada hati yang bersih, ada hati yang kotor, tentunya berbeda, lalu bagaimana anda membedakannya ? Aql atau pikiran juga mengalami beberapa kondisi, ada kondisi dimana pikiran mencapai sesuatu yang pasti benar dan ada pikiran yang pasti salah, sementara kondisi yang lain yaitu ragu-ragu tidak memiliki penilaian, ada di persimpangan jalan atau tidak punya nilai selain sarana untuk mengetahui sesuatu. Dari semua sumber pengetahuan tadi: alat-alat indra, aql, dan hati, masing-masing memiliki peran yang sudah tentu. Ada syarat yang pasti agar aql kita menemui kebenaran, sebagaimana ada syarat yang pasti agar hati kita bersih, yaitu pikiran yang sehat, konsisten, dan jelas. Hati tak pernah berbohong, itu ekuivalen dengan pikiran yang konsisten, logis.
***
Dari uraian diatas, dinyatakan bahwa kesadaran setiap orang akan menempuh tahapan-tahapannya, kondisi ini tidak mungkin tercegah, bahkan dibatasi. Karena kecendrungan alami manusia agar menetapkan sesuatu secara pasti, sehingga meyakini sesuatu dengan mantap. Upaya untuk membatasi perkembangan kesadaran hanya akan membuktikan adanya kebutuhan kepada kesadaran yang lebih tinggi. Kita ingin kepastian, dan diketahui secara universal.
Untuk menempuh pengetahuan yang universal, kita harus memulainya dari dasar-dasar pengetahuan yang universal, yaitu sesuatu yang sudah jelas pada diri kita semua. Berawal dari yang paling jelas, kita akan berupaya untuk memperjelas yang lain yang belum jelas. Kembalilah pada prinsip, inilah paham kita: paham absholutisme.



BROSUR HMI


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
ORGANISASI INTELEKTUAL & PERKADERAN Generasi Ummat & Bangsa

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM 
CABANG DUMAI
(Contact Person : 0852 6541 4667 - 0813 7132 3760 ) 


Komentar – komentar Tokoh

Prof.DR.H. Muchtar Ahmad (Mantan Rektor UNRI)

“Mahasiswa di Universitas seyogyanya memanfaatkan organisasi mahasiswa seperti HMI untuk mengembangkan identitas kepribadian dan kepemimpinan”.

Prof.DR.Alaidin Koto,MA (Dosen UIN SUSQA / Dewan Pertimbangan Gubernur Riau)

“Bagi saya, HMI membentuk seseorang menjadi lebih dewasa dalam menilai perbedaan, menumbuhkan sikap indenpenden dan mandiri. Oleh sebab itu, saya mengajak generasi muda terutama mahasiswa untuk memanfaatkan HMI sebagai wadah kreatifitas”. 

Drs. Nahar Effendi, M.Si (Ketua STIA Dumai)

“ HMI merupakan Organisasi mahasiswa yang lebih mengedepankan kualitas dari pada kuantitas sehingga banyak kader-kader ummat dan bangsa yang dilahirkan melalui rahim HMI. Untuk itu boleh saya katakan bahwa sangat rugi rasanya bila para mahasiswa Islam tidak menjadi kader HMI.
Bennedi Boiman (Mantan Ketua DPRD Kota Dumai)
“ HMI dikenal sebagai organisasi kader calon pemimpin yang responsive, kritis dan mampu mewarnai corak serta dinamika perkembangan zaman dan salah satu kelebihan HMI adalah senantiasa mampu menjaga indenpendensinya. Dengan demikian sampai saat ini HMI merupakan Organisasi Mahasiswa yang sangat diperhitungkan.

Sejarah Singkat HMI
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tanggal 05 Februari 1947 oleh beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yokyakarta, sekarang dikenal Universitas Islam Indonesia (UII) Yokyakarta yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm). Jabatan terakhir beliau adalah Guru Besar UII.

 HMI berazaskan Islam (Pasal 3 AD HMI)
Internalisasi nilai-nilai Islam menjadi nafas setiap gerakan dan aktifitas kader HMI.

 Tujuan HMI (Pasal 4 AD HMI)
“Tebinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT ”.

 Usaha HMI (Pasal 5 AD HMI)
a. Membina pribadi muslim untuk mencapai akhlaqul karimah.
b. Mengembangkan potensi kreatif,keilmuan, sosial dan budaya.
c. Mempelopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan ummat manusia.
d. Memajukan kehidupan ummat dalam mengamalkan Dinnul Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
e. Memperkuat Ukhuwah Islamiayah sesama ummat Islam sedunia.
f. Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional.
g. Usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan huruf (a) s/d (e) dan sesuai dengan azas, fungsi, dan peran organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan organisasi.

 HMI Bersifat Indenpenden (Pasal 6 AD HMI)

 HMI berfungsi sebagai Organisasi Kader 
Perkaderan dilakukan dengan beberapa metoda diantaranya adalah Training Formal (secara berjenjang serta memiliki Standar Nasional) dan Non-Formal.

1. Training Formal  

a. Latihan Kader I (Basic Training) 
Tujuan : “Terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader ummat dan kader bangsa”. → Syarat Menjadi Anggota HMI : Harus Lulus Latihan Kader I (LK I)

b. Latihan Kader II (Intermediate Training)
Tujuan : “Terbinanya kader HMI yang mempunyai kemampuan intelektual dan mampu mengelola organisasi serta berjuang untuk meneruskan dan mengemban misi HMI”.

c. Latihan Kader III (Advance Training)
Tujuan : “Terbinanya kader pemimpin yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan sosial”.

2. Training Non- Formal

Terdiri dari PUSDIKLAT Pimpinan HMI, Senior Course (Pelatihan Instruktur), Latihan Khusus KOHATI, Up-Grading Kepengurusan, Kesekretariatan, Pengembangan Profesi dsb.

Tujuan : “ Terbinanya kader yang memiliki skill dan profesionalisme dalam bidang manajerial, keinstrukturan, keorganisasian, kepemimpinan dan kewirausahaan serta profesionalisme lainnya”.


Template by : kendhin x-template.blogspot.com